Berita  

Ketua DPD RI Beri Peringatan Tegas Ke Pimpinan Partai Politik

Surabaya, DB – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti akhirnya angkat bicara terkait wacana penundaan Pemilu 2024 yang dilontarkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan serta Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto belum lama ini.

LaNyalla katakan, wacana yang didalilkan yaitu karena Indonesia masih dalam situasi pandemi Covid-19 dan kesulitan anggaran, itu memang belum direspon oleh masyarakat lapis bawah. Tetapi bukan berarti rakyat, sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik negara ini, akan setuju.

“Sekarang mungkin rakyat masih diam, masih punya batas kesabaran melihat pola tingkah-laku elit politik. Tapi kalau sudah kelewatan, bisa pecah revolusi sosial. Pemilik negara ini bisa marah dan para elit politik bisa ditawur oleh rakyat,” kata LaNyalla memperingatkan, di Surabaya pada hari Senin (28/2/2022).

Sebab, lanjut LaNyalla, satu-satunya sarana bagi rakyat untuk melakukan evaluasi atas perjalanan bangsa hanya melalui Pemilu lima tahunan. Karena sistem hasil amandemen hanya memberi ruang untuk itu.

“Itu pun rakyat sudah dipaksa memilih calon pemimpin yang terbatas, akibat kongsi partai politik melalui ‘presidential threshold’.

“Lalu sekarang cari akal untuk menunda Pemilu. Ini namanya sudah melampaui batas. Dan Allah SWT melarang hamba-Nya melampaui batas,” tandasnya seraya mengingatkan bahwa negara ini adalah negara yang berketuhanan.

Masih kata LaNyalla, rakyat sebagai pemilik negara bukan orang yang tidak mengerti. Mereka sangat punya kearifan berpikir. “Bahkan dengan logikanya, rakyat mengatakan, kalau tidak punya anggaran, kenapa yang ditunda bukan pembangunan ibukota negara?”

Lagipula, sambung LaNyalla, para elit politik kita seharusnya tidak memberi masukan yang menjerumuskan kepada Presiden.

“Kasihan Pak Jokowi, beliau kan sudah pernah menyatakan menolak tiga periode dan tidak mau diperpanjang. Rakyat masih ingat itu.”

“Sudahlah, kita tidak boleh menjalankan negara ini dengan suka-suka, apalagi ugal-ugalan dengan melanggar konstitusi, atau mencari celah untuk mengakali konstitusi.

“Saya berulang kali mengajak semua pihak untuk berpikir dalam kerangka Negarawan,” ungkap Senator asal Jawa Timur ini.

LaNyalla pun mengingatkan bahwa sistem Demokrasi Pancasila yang asli, sebelum dilakukan amandemen, adalah yang paling cocok untuk Indonesia, dimana di dalam MPR sebagai Lembaga Tertinggi terdapat representasi partai politik, TNI-Polri, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, untuk sama-sama merumuskan haluan negara dan memilih mandataris MPR untuk menjalankan keputusan MPR.

Tapi kemudian lahirlah gerakan reformasi yang mengubah secara drastis tata cara penyelenggaraan negara. Salah satunya adalah terakomodasinya Utusan Daerah ke dalam lembaga baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah.

Bisa Terjadi Pembangkangan Jika Pemilu Ditunda

Ultimatum Ketua DPD RI tentang potensi terjadinya revolusi sosial akibat wacana penundaan Pemilu itu perlu diperhatikan, secara serius. Karena menunda Pemilu akan menimbulkan krisis legitimasi bagi semua pimpinan lembaga penyelenggara negara. Juga semua anggota DPR, DPD, dan DPRD akan dianggap ilegal bila menduduki posisi mereka melampuai masa jabatan lima tahunan.

Apa dasar hukumnya bahwa Presiden dan Wakil Presiden, semua Menteri, serta semua pimpinan dan anggota lembaga-lembaga legislatif masih berhak menduduki posisi mereka yang masa jabatannya berakhir pada September 2024?

Pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra bahkan mengatakan bahwa jika Pemilu ditunda, maka Panglima TNI dan Kapolri dapat membangkang terhadap Presiden karena dianggap berkuasa secara ilegal, alias tidak berdasar hukum. Maka TNI bisa mengambil-alih kekuasaan untuk menyelamatkan negara dan bangsa.

Rakyat pun bisa saja membangkang karena pemerintah yang berkuasa akan dianggap tidak sah, karena tak ada dasar hukum untuk pemerintah berkuasa melampaui masa jabatan, tanpa diadakan Pemilu.

Maka tepatlah ultimatum LaNyalla bahwa revolusi sosial dapat terjadi apabila Pemilu 2024 itu ditunda.

Ultimatum yang dikeluarkan oleh Ketua DPD RI itu senapas juga dengan sikap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Ia menyamakan penundaan Pemilu dengan perampasan hak dan kedaulatan rakyat

Hamdan Zoelva katakan, menurut Pasal 22E UUD 1945, Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Kalau ditunda, harus mengubah terlebih dahulu ketentuan tersebut berdasarkan mekanisme Pasal 37 UUD 1945. Dari segi alasan, tidak ada alasan moral, etika, dan demokrasi untuk menunda pemilu, ujar Hamdan.

“Bahkan dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya lima tahun sekali. Jika pemilu ditunda untuk 1-2 tahun, siapa yang jadi Presiden, anggota Kabinet, dan anggota DPR, DPD dan DPRD seluruh Indonesia? Karena masa jabatan mereka semua berakhir pada September 2024.

“UUD 1945 tidak mengenal istilah ‘Pejabat Presiden’. Hanya menurut Pasal 8 UUD 1945, jika Presiden dan Wapres, mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukn kewajibannya secara bersamaan, maka pelaksana tugas kepresidenan dilakukan oleh Mendagri, Menlu dan Menhan.”

Tapi itu pun tetap menimbulkan problem. Karena jabatan Mendagri, Menlu dan Menhan berakhir dengan berhenti atau berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wapres yang mengangkat mereka. Kecuali MPR menetapkannya lebih dahulu sebagai pelaksana tugas kepresidenan.

Opsi ini pun menimbulkan krisis legitimasi. Karena DPR dan DPD berakhir masa jabatannya ketika Presiden pun mengakhiri masa jabatannya. Jadi sidang MPR pun menjadi tidak berdasar hukum jika dilakukan setelah masa jabatan para anggota DPR dan DPD berakhir.

Maka, sekali lagi, ultimatum yang dikeluarkan Ketua DPD RI itu harus diperhatikan sebagaimana mestinya, agar tidak terjadi krisis legitimasi yang berpotensi melahirkan revolusi sosial sebagaimana diperingatkan oleh Ketua DPD RI. (ileaderstv).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *