Abustan
Pengajar , Peneliti
Detikbangsa.com – BERBUKA puasa bersama di 10 terakhir Ramadan di rumah Erros Djarot (Budayawan Indonesia) memiliki suasana kenikmatan tersendiri. Duduk satu meja dengan saudara kita yang bukan beragama islam benar-benar memberi warna pluralisme yang indah. Begitu intim dan akrab membangun kebersamaan melalui keberagaman keyakinan.
Memang, tak dapat diingkari bahwa merawat yang namanya toleransi merupakan suatu seni yang memerlukan sentuhan kedamaian. Salah satu isi toleransi itu adalah kerukunan antar dan internal umat beragama.
Indonesia menjadi negara besar dan cukup disegani karena terciptanya kerukunan beragama. Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan manifestasi politik hukum Indonesia, karena telah menjadi jawaban atas negara kesatuan Indonesia dengan Panca sila sebagai falsafah hidup bersama. Indonesia menjadi salah satu referensi toleransi dunia. Bagi bangsa Indonesia, toleransi dan kerukunan bukan hanya keniscayaan, melainkan juga kemutlakan. Oleh karena itu, kita harus senantiasa mengidentifikasi titik-titik krusial yang dapat membuat kita “terpelanting” dan gagal dalam membangun kebersamaan (solidaritas) di tengah kemajemukan. (Masdar Hilmy, Kompas, 21/4/2022).
Menelisik makna kalimat itu, diperlukan penegasan bahwa bagaimana arah politik hukum kembali kepada situasi pembangunan negara oleh Bapak Bangsa, bahwa kesatuan bangsa menjadi dasar pertama dalam mengisi kemerdekaan.
Bagaimana umat beragama di Indonesia hidup berdampingan ?. Pertama, harapannya tentu saja pemerintah sebagai pelaksana jalannya roda pemerintahan dapat secara konsisten menjabarkan UUD Negara RI 1945 melalui berbagai peraturan yang berada di bawah UUD, sehingga berbagai produk hukum yang dihasilkan dan bertentangan dengan UUD 1945 dapat dibatalkan keberadaannya. Kedua, negara dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab terhadap perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bentuk pengakuan adanya persamaan hak bagi seluruh warga Indonesia.
Di samping itu, adanya jaminan kebebasan beragama bagi semua pemeluk agama yang telah diamanatkan dalam UUD Negara RI 1945, khususnya dalam Pasal 28 E, Pasal 28 I, Pasal 28 J, dan Pasal 29, serta diperkuat dengan sejumlah produk perundang-undangan lainnya. Namun, di dalam mengamalkan agama ada rambu-rambu yang harus ditaati semua pihak agar tidak terjadi gesekan antara satu dengan yang lainnya.
Sesungguhnya, gesekan yang masih terpendam itu merupakan bagian dari peninggalan “Orde Baru” sehingga membuat relasi agama dan negara selalu ada lubang yang bisa menciptakan masalah (kekacauan) dalam kehidupan beragama. Jadi kekacauan bukan saja di bidang ekonomi, melainkan juga dalam cakrawala perikemanusiaan yang seharusnya dijaga sebagai sesuatu yang amat tinggi nilainya.
Walhasil, merawat keberagaman merupakan pengejawantahan nilai-nilai demokrasi, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan (konstitusionalisme) dan nilai keadaban publik. Dengan demikian, pengembangan nilai ini diyakini akan mengakselerasikan kemajuan bangsa.
Jakarta, 26 April 2022
komunitas “SATU PENA”
I like this web blog it’s a master piece! Glad I detected this ohttps://69v.topn google.Blog money