Opini  

Bepikir Strategis, Bertindak Demokratis (Ulasan Atas Buku: Melintas Dalam Pikiran)

Dr. Arqam Azikin
(Analis Politik Kebangsaan)

Detikbangsa.com – Sungguh banyak yang melintas dalam pikiran Kanda A.M. Sallatu, dan gagasan-gagasan yang melintas tersebut tidak berlalu begitu saja, namun coba dirajut dalam untaian aksara, esai-esaipun akhirnya lahir dan dikumpulkan menjadi satu buku. Maka buku yang dijuduli “Melintas Dalam Pikiran”  (2022) hadir di hadapan kita, di satu sisi mempertanyakan dan memperkarakan banyak hal sekaitan dengan pemerintahan dan pembangunan, namun di sisi lain menawarkan kepada kita gagasan-gagasan segar yang menunggu untuk dikembangkan lebih jauh oleh kita semua.

Namun ada beberapa gagasan kanda A.M Sallatu yang menurut saya sangat menarik tuk kita simak, terutama sekaitan dengan pemerintahan dan kepemimpinan. Kanda A.M Sallatu menuliskan dalam esainya yang berjudul “Perwujudan Fungsi Pemerintahan; Belajar dari DKI Jakarta” (2022) bahwa saat ini ada semacam pendewaan terhadap “Pembangunan”. Pembangunan telah menjadi semacam kosa kata rutin yang diucapkan oleh para kepala daerah atau para elit politik, bahkan saking seringnya diucapkan, pembangunan telah menjadi slogan belaka, tidak lagi menjadi komitmen dan etos dalam membawa masyarakat menuju kemajuan dan kesejahteraan.

Akibat pendewaan tersebut maka aspek pemerintahan “keteteran” dan dinomorduakan. Hal ini berakibat pada tidak puasnya masyarakat kepada kinerja pemerintahan. Padahal salah satu fungsi utama pemerintahan adalah melakukan pelayanan publik secara optimal, dimana barang dan jasa publik didistribusikan kepada yang berhak yakni warga negara. Kalau kita meminjam gagasan dari Paradigma New Public Service (NPS) dari studi administrasi publik, maka variabel utama yang mesti dijadikan patokan utama oleh pemerintah adalah tegaknya martabat setiap warga negara (citizen dignity). Martabat ini muncul jika pemerintah mampu mengalokasikan sumber daya publik agar setiap warga negara bisa hidup sebagai manusia yang bermartabat.

“Bahwa fungsi pemerintahan dan fungsi pembangunan adalah merupakan dua sisi dari satu mata uang logam” tulis kanda A.M Sallatu. Namun seringkali ada yang janggal dalam beberapa kasus penyelenggaraan pemerintahan kita, karena tak jarang “kepentingan  pelaku usaha selaku pelaku pembangunan yang amat penting peranannya” dibandingkan “penghantaran pelayanan kepada masyarakat luas”. Sejalan dengan Denhart dalam “The New Public Service, Expanded Edition, Serving Not Stering” (2007) bahwa nilai kewargaan mesti berada di atas nilai kewirausahawaan (value citizenship over enterprenurship) tanpa mengekbiri peran strategis dari para wirausahawaan dalam membangun ekonomi sebuah daerah bahkan negara. Artinya orientasi kepada dan pelibatan akan warga negara (citizen) dalam proses administrasi dan pemerintahan jauh lebih penting dibanding pemerintahan yang hanya digerakkan oleh swasta. Lebih baik jika kepentingan publik dirumuskan bersama-sama oleh pemerintah dan masyarakat (dengan segala bentuk keragaman demografis dan termasuk pelaku usaha di dalamnya), dibanding jika hanya dirumuskan secara sepihak antara pemerintah dan pelaku usaha atau administratur publik yang berjiwa wirausaha.
Namun keberimbangan antara fungsi pemerintahan dan pembangunan hanya bisa diwujudkan jika ditopang oleh kepemimpinan (leadership) yang mumpuni.

Kepemimpinan yang kuat (strong leadership) adalah hal yang mutlak dalam era yang serba dinamis saat ini. Namun kepemimpinan yang kuat tidak berarti kepemimpinan yang sentralistik, tidak identik dengan kepemimpinan yang “suka memarahi namun defisit dalam mengayomi”. Atau kalau kita meminjam istilah kanda A.M Sallatu dalam esainya yang berjudul “Pemimpin, Potret Reformasi di Sulsel” (2022) kepemimpinan yang kuat tidak identik dengan “kepenguasa-tunggalan”.
Namun ada satu problem menarik dalam esai tersebut yang dituliskan dengan kalimat “hal ini jadi menarik karena bila disimak, diskusi dan pembicaraan tentang pemimpin di hari-hari ini, justru masih maraknya tampilan pemimpin berciri penguasa tunggal”. Dan Kanda A.M Sallatu menengarai bahwa hal tersebut diakibatkan oleh semacam “dosa turunan” (mungkin yang dimaksud adalah kultur organisasi birokrasi yang tetap bertahan) dari era orde baru, di mana struktur kepemimpinan terlalu lancip, terlalu terbatas ruang bagi lahirnya sosok-sosok pemimpin.

Namun saya sepakat dengan Kanda A.M Sallatu bahwa sangat naif rasanya, jika pemerintahan hanya ditumpukan kepada kepemimpinan satu orang. Kepemimpinan mesti dikaitkan dengan kinerja organisasi pemerintahan, serta output yang dihasilkan dari kerja-kerja organisasi. Jika kita hubungkan dengan gagasan Bourgon (2007) bahwa setidaknya ada empat karakter yang erat dengan model kepemimpinan dalam pemerintahan yang relevan dengan situasi saat ini. Pertama ¸mampu membangun kolaborasi dengan warga dan kelompok masyarakat; Kedua, mampu mendorong tanggung jawab bersama; Ketiga, mampu memobiliasasi wacana sekaitan dengan isu publik tertentu dan keempat senantiasa melibatkan warga dalam aktivitas pemerintahan. Keempat karakter ini dalam paradigma NPS dikenal sebagai pemimpin dan pemerintahan yang mampu berpikir strategis sambil bertindak demokratis (think strategically, act democratically).

Tapi pemerintahan yang berkinerja baik yang disertai dengan kepemimpinan yang kuat, hanya mungkin terwujud, jika lembaga partai politik sebagai pihak yang bertugas secara konstitusional untuk melakukan perekrutan politik bagi calon kepala kepala negara dan kepala daerah, memberikan input politik yang berkualitas. Mungkin agak sulit disangkal banhwa bangsa kita saat ini mengalami krisis kepemimpinan, kita mengalami defisit akan figur kepala daerah, pejabat pemerintah ataupun legislator yang memiliki kepemipinan yang kuat.
Mungkin saja, apa yang terjadi dalam birokrasi pemerintahan kita sedikit banyaknya  merupakan cerminan dari apa yang terjadi dalam parpol-parpol kita. Jika di pemerintahan muncul sosok dengan penguasa tunggal, maka mungkin di parpol kita juga begitu. Jika di pemerintahan, struktur kepemimpinan terlalu lancip, maka mungkin di parpol kita juga begitu. Jika di pemerintahan kita sulit menemukan sosok-sosok yang mampu berpikir strategis dambil bertindak demokratis, mungkin di parpol kita juga begitu.

Bahkan bisa saja fenomena penguasa-tunggal, struktur kepemimpinan yang terlalu lancip,  dan ketidak mampuan berpikir strategis sambil bertindak demokratis tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintahan dan partai politik, tetapi juga menjadi fenomena lazim di birokrasi kampus bahkan di organisasi masyarakat sipil. Mesti ada perubahan memang, walaupun hal tersebut tidaklah mudah.

Selamat untuk Kanda A.M Sallatu atas kelahiran karyanya, semoga menginspirasi kita semua. (DB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *